Rabu, 10 Agustus 2016
Home »
» Kesabaran Tak Berpalang Batas
Kesabaran Tak Berpalang Batas
Apa saya jatuh cinta padanya?
Jika orang-orang beranggapan saat hati dan fikiran kita mulai dipenuhi tak menentu oleh seseorang adalah pertanda gejala jatuh cinta, mungkin memang benar saya telah jatuh cinta pada kisahnya.
Ya, beberapa hari ini fikiran saya dipenuhi oleh seorang bernama Ryan. Semenjak ia menginap di Rumah Binaan (Rumbi) Dompet Dhuafa Singgalang, saya kerap mendengar namanya di sebut-sebut di lingkungan kantor.
Saya mendengar celetuk Amil yang berkata kira-kira begini; 'Semenjak ada ibu Ryan nginap, Rumbi jadi lebih kinclong,' Ah, semakin menggebu hasrat saya untuk bertemu dengan Ryan dan ibunya.
Akhirnya pada Selasa (9/8) saya berhasil menemuinya. Kami bertemu tepat di depan gedung Rumah Sakit M. Djamil Padang. Ternyata, Ryan sehabis operasi amputasi kaki.
Awal Pertemuan
Ryan adalah mustahik Dompet Dhuafa Singgalang asal Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Saya kenal baik Ryan dan ibunya semenjak April 2015 silam. Telah banyak tulisan tentangnya yang saya naikkan ke media, tentang perjalanan perjuangan ia dan Sang Ibu menjemput kesembuhan.
Dompet Dhuafa dipertemukan dengan Ryan, yang bernama lengkap Afriansyah (14), saat ia dan sang ibu, Nurbaiti (40), kebingungan mencari penginapan di Jakarta. Saat itu, ia dalam tahap awal pengobatan tumor -bernama ilmiah Neurofibromatosis- yang menjangkit area lutut hingga telapak kakinya. Tumor ini menuntut harus segera dioperasi. Singkat cerita, akhirnya Ryan dan sang ibu menginap di shelter Dompet Dhuafa di Jakarta, tak jauh dari Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM), tempat rujukan operasi Ryan.
Amputasi Kaki dan Mata Mengabur
Setelah melewati empat kali operasi, Ryan harus merelakan kaki kirinya diamputasi pada Maret 2015 lalu. Sebagian besar tubuhnya telah menerima efek buruk dari tumor ini, terutama di bagian Bagian kaki dan punggung Rian. Telapak kaki dan punggungnya terlihat bengkak dan menonjol karena tulangnya yang remuk dari dalam mendesak ke kulit. Tumor ini telah merusak sistem kekebalan tubuh Rian, menyebabkan kerangka bagian tubuh sebelah kirinya rusak dan merapuh. Mulai dari ujung kaki hingga bawah lutut, ia ikhlaskan agar virus tidak semakin menjangkit anggota tubuh lainnya.
Mata kirinya turut menerima efek dari penyakit ini. Ia nyaris tidak bisa melihat. Oleh dokter, ia diterapi dengan kacamata khusus agar keburaman pandangannya dapat membaik.
Meski ikhlas menguatkan diri untuk menghadapi operasi dengan pandagan mata sebelah kiri yang mengabur, Rian masih memerlukan penanganan khusus untuk tonjolan di kerangka tulang punggung akibat tumor yang ia derita.
Pihak Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta, tempat Rian dirujuk, mengharuskan Rian untuk mengenakan korset khusus sebelum dan selama proses operasi Rian nantinya.
Namun biaya yang diperlukan tidak sedikit. korset khusus ini membutuhkan biaya sebesar 3,5 juta. Korset ini sangat diperlukan untuk menahan tulang punggung dan pinggul Rian agar tidak remuk selama melakukan operasi.
Lagi-lagi Rian harus menunggu, entah bagaimana ia bisa mendapat biaya sebesar itu. Selama ini Rian mengandalkan tanggungan biaya dari BPJS. Namun untuk korset ini, BPJS tidak bisa memenuhi tanggungan pembiayaan untuk Rian.
Kepulangan
Sekitar setahun menginap di shelter Dompet Dhuafa Jakarta, Ryan ingin pulang dan meneruskan pendidikannya yang terhenti tepat saat ia duduk di kelas VI (saat dimana ia akan menghadapi ujian akhir sekolah) bangku Sekolah Dasar (SD).
"Rian ingin pulang, mau ikut ujian sekolah," ungkapnya polos. Rian berangkat dengan bus dari Jakarta pada pertengahan lalu, dan tiba di Solok pada Rabu (30/3) dengan selamat.
Oleh donatur, Ryan juga dihadiahkan kaki palsu, untuk menopang kaki kirinya yang diamputasi, agar dia bisa bergerak bebas. Namun sayang, pada kenyataannya kaki palsu ini kurang fungsional, mengingat tulangnya yang rapuh, tulang panggulnya tak sanggup menahan beban tubuhnya.
Lulus di Salah Satu Sekolah Favorit
Ryan akhirnya mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) di sekolahnya. Ungkap ibunya, guru-guru mengaku bangga dengan nilai ujian sekolahnya. Padahal satu tahun telah berlalu, namun ia masih bisa menyelesaikan ujian sekolah dengan baik.
Meski ijazahnya belum keluar, Ryan dinyatakan lulus saat mendaftarkan diri di salah satu sekolah Favorit di daerah Singkarak, SMP N 1 Singkarak. "Guru-gurunya sangat bangga mendengar kabar ini, berharap Ryan bisa melanjutkan sekolahnya," seloroh Sang Ibu.
Kembali Memburuk
Tepat saat hendak mendaftar ulang di SMP N 1 Singkarak, tanpa sengaja Ryan terjatuh. Bagian kaki yang sebelumnya diamputasi menghempas aspal. Semenjak itu Ryan merasa sakit hingga ke pinggulnya.
Ryan dibawa ke RS M. Djamil Padang pada akhir Agustus 2016. Ia menginap di Rumah Binaan Dompet Dhuafa Singgalang semenjak Minggu (31/7) hingga sekarang.
Tepat kemarin, Selasa (2/8), Ryan kembali terbaring di RS. Ternyata tumor yang menyerang sistem tubuh Ryan adalan tumor ganas. Tubuh Ryan peka terhadap tumbukan. Bagian kaki yang terhempas, ternyata mengalami patahan tulan di ujung (bekas amputasi sebelumnya). Bagian tersebut segera di amputasi. Sementara bagian paha hingga pinggul sudah membengkak besar. Selanjutnya pihak dokter meminta Ryan agar dirawat inap untuk amputasi lanjutan yang mengangkat bagian paha kiri hingga pinggulnya.
Berawal dari Pelajaran Kesabaran Sang Ibu
Seusai amputasi, Ryan dan Ibunya menunggu jemputan Tim Dompet Dhuafa Singgalang di beranda Rumah Sakit. Saya, saat itu datang mengendarai motor, mendahului tim yang hendak jemputan yang akan mengantar Ryan dan Sang Ibu untuk beistirahat di Rumbi.
Awalnya saya hendak sedikit bertanya-tanya tentang kebutuhan Ryan dan Sang Ibu, terkait ada donatur yang ingin berdonasi untuk pembuatan korset khusus penopang pinggul Ryan. Saat saya bertanya bagaimana kelanjutan pengobatan dan pembuatan korset di Jakarta, Ryan dan Sang Ibu menolak,
"Saya berharap kelanjutan pengobatan Ryan di Padang saja, mengingat tubuh Ryan sangat rentan perjalanan jauh cukup menyulitkannya. Alhamdulillah penanganan di Padang baik, dan untuk korset sepertinya tidak usah saja, karena gambaran dari dokter, korset tersebut hanya akan menyangga tulang Ryan, tentu akan sakit dan menyebabkan Ryan sulit beraktivitas," dengan rendah hati, Ibu Nurbaiti menangguhkan pembuatan korset khusus tersebut.
Saat ditanya bagaimana awal penyakit ini mulai menggerogoti tubuh Ryan, Ibu Nurbaiti kembali mengenang kejadian saat Ryan dalam suasana mengaji di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) di dekat rumahnya. Ryan, yang saat itu telah berstatus anak yatim, seringkali menjadi bahan olokan oleh teman-temannya.
Ejekan tersebut tak pernah digubris oleh Ryan. Ibu Nurbaiti selalu menanamkan kesabaran di hati Ryan. "Sabar nak, jika ada teman yang menyakiti, tak perlu dibalas, cukup dihindari agar engkau tak sakit hati," kenang sang Ibu.
Namun kesabaran Ryan membuat temannya jengkel. Tepat saat suasana hujan di depan kelas mengaji, Ryan dihadang tiga temannya. Ryan tak bisa mengelak, entah terpeleset didorong atau karena lantai yang licin, Ryan terjatuh saat berbalik menghindar. Ryan tak bisa bangun saat itu. Oleh guru mengaji, Ryan dibawa ke salah satu tukang pijat.
Dua bulan berlalau, Ryan tak merasa ada yang aneh pada kakinya. Ada benjolan kecil didapati dibawah lutut. Awalnya diduga benjolan biasa, beberapa waktu kemudian, barulah didapati saat diperiksa ke dokter, tumbukan tersebut menyebabkan tumor di kakinya.
Sesal Ibu Ryan atas Pelajaran Sabarnya
Beberapa waktu berlalu, Ryan bermain ditemani sepupunya. "Waktu itu ia menonton orang main bola di lapangan," lanjut Ibu Nurbaiti. Ia kembali dijahili temannya. Tanpa sebab, punggung Ryan dipukul, dan memancing amarah sang sepupu.
Sedangkan Ryan hanya melerai keduanya. Bisa saja saat itu Ryan dan keluarga menuntut pertanggungjawaban kejahilan temannya, yang menyebabkan tulang dipunggungnya terstimulus tumor sampai sekarang. Namun ia dan sang ibu memilih ikhlas.
"Saya merasa sedikit menyesal saat itu, atas pelajaran sabar yang saya tanamkan padanya, akhirnya Ryan malah menerima semua perlakuan seperti itu," tutur Ibu Nurbaiti terbata-bata.
Kekuatan Sabar dari Ryan untuk Sang Ibu
Ibu Ryan kerap sedih mengingat nasib sang putra pertama. Meski tabah dengan ujian yang diberi Allah ini, tak jarang ia merasa menyesal telah mengajarkan kesabaran bagi Ryan.
"Ma, Ryan nggak apa-apa kok, Ama jangan sedih terus. Kalau Ama sampai sakit gara-gara nangis terus, nanti yang rawat Ryan siapa?" dengan polos Ryan selalu menenangkan Ibu Nurbaiti setiap kali bersedih.
"Hanya sekali saja Ryan mengungkapkan kesedihannya kepada saya, ketika sehabis amputasi pertama, saat bangun ketika itu di ruangan RS ada kaca, ia melihat langsung tungkai kaki sebelah kirinya sudah tak ada, ia berkata kepada saya 'ma, apa mungkin Ryan bisa kuat dengan kondisi seperti ini?' sontak saat itu saya menangis, tak pernah saya dengar dia mengeluh ataupun bersedih sebelumnya, namun benar-benar hanya kali itu, setelahnya, Ryan-lah yang selalu menguatkan saya," Ibu Nurbaiti mengusap matanya yang mulai basah.
Sabar adalah Kekuatan Tanpa Batas
Tak ada waktu untuk mengeluh, tak ada waktu untuk bersedih. Ryan akan menghadapi amputasi lanjutan. Ibu Nurbaiti dan Ryan menyatakan bahwa ini adalah kehendak Allah. meski dokter berkata tumor ini telah menjangkit ke seluruh tubuh Ryan, tapi masih ada waktu untuk ikhtiar dan berusaha menjemput kesembuhan.
"Selalu ada sanak saudara, keluarga besar Dompet Dhuafa, tetangga, mitra dan donatur yang memberi kemudahan bagi keluarga kami," senyum dibibir Ibu Nurbaiti kembali merekah.
"Yan, masih lanjut sekolah, kan?" saya menggodanya yang saat itu duduk manis di kursi roda menunggu jemputan tim.
"Iya dong kak, kalau udah boleh sekolah, Ryan mau sekolah lagi," tuturnya cengengesan. Melihat senyumnya, saya tak kuasa menahan haru. Saya benar-benar jatuh cinta dengan perjalanan hidupnya. (nisa)
Luar biasa~
BalasHapusMasha Allah...
BalasHapus