Life for Tommorow

Masa lalu ibarat pengambian foto dengan teknik 'Levitasi'. Ianya terlihat menarik seolah waktu terhenti tanpa gravitasi. Padahal, ia hanya mencuri sepersekian detik waktu untuk mengabadikan momen semu itu. Hanya semu. ---www.pejuanghijrah.blogspot.com---

Hijrah

"Siapa yang tidak mendekat kepada ALLAH, padahal sudah dihadiahi berbagai kenikmatan, akan diseret (agar mendekat) kepada-NYA dengan rantai cobaan."(IAA) ---www.pejuanghijrah.blogspot.com---

Ephemeralogic

Tuhan menitipkan cerita di dalam cerita. Memberikan batas disetiap masa. ---www.pejuanghijrah.blogspot.com---

Dakwah

"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh pada jalan Kami, sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya ALLAH bersama orang-orang yang berbuat kebajikan."(Q.S. Al-Ankabut : 69) ---www.pejuanghijrah.blogspot.com---

Menulislah

Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah ! ---www.pejuanghijrah.blogspot.com---

Rabu, 10 Agustus 2016

Kesabaran Tak Berpalang Batas


Apa saya jatuh cinta padanya?

Jika orang-orang beranggapan saat hati dan fikiran kita mulai dipenuhi tak menentu oleh seseorang adalah pertanda gejala jatuh cinta, mungkin memang benar saya telah jatuh cinta pada kisahnya.
Ya, beberapa hari ini fikiran saya dipenuhi oleh seorang bernama Ryan. Semenjak ia menginap di Rumah Binaan (Rumbi)  Dompet Dhuafa Singgalang, saya kerap mendengar namanya di sebut-sebut di lingkungan kantor.

Saya mendengar celetuk Amil yang berkata kira-kira begini; 'Semenjak ada ibu Ryan nginap, Rumbi jadi lebih kinclong,' Ah, semakin menggebu hasrat saya untuk bertemu dengan Ryan dan ibunya.
Akhirnya pada Selasa (9/8) saya berhasil menemuinya. Kami bertemu tepat di depan gedung Rumah Sakit M. Djamil Padang. Ternyata, Ryan sehabis operasi amputasi kaki.

Awal Pertemuan
Ryan adalah mustahik Dompet Dhuafa Singgalang  asal Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Saya kenal baik Ryan dan ibunya semenjak April 2015 silam. Telah banyak tulisan tentangnya yang saya naikkan ke media, tentang perjalanan perjuangan ia dan Sang Ibu menjemput kesembuhan.
Dompet Dhuafa dipertemukan dengan Ryan, yang bernama lengkap Afriansyah (14), saat ia dan sang ibu, Nurbaiti (40), kebingungan mencari penginapan di Jakarta. Saat itu, ia dalam tahap awal pengobatan tumor -bernama ilmiah Neurofibromatosis- yang menjangkit area lutut hingga telapak kakinya. Tumor ini menuntut harus segera dioperasi. Singkat cerita, akhirnya Ryan dan sang ibu menginap di shelter Dompet Dhuafa di Jakarta, tak jauh dari Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM), tempat rujukan operasi Ryan.

Amputasi Kaki dan Mata Mengabur
Setelah melewati empat kali operasi, Ryan harus merelakan kaki kirinya diamputasi pada Maret 2015 lalu. Sebagian besar tubuhnya telah menerima efek buruk dari tumor ini, terutama di bagian Bagian kaki dan punggung Rian. Telapak kaki dan punggungnya terlihat bengkak dan menonjol karena tulangnya yang remuk dari dalam mendesak ke kulit. Tumor ini telah merusak sistem kekebalan tubuh Rian, menyebabkan kerangka bagian tubuh sebelah kirinya rusak dan merapuh. Mulai dari ujung kaki hingga bawah lutut, ia ikhlaskan agar virus tidak semakin menjangkit anggota tubuh lainnya.
Mata kirinya turut menerima efek dari penyakit ini. Ia nyaris tidak bisa melihat. Oleh dokter, ia diterapi dengan kacamata khusus agar keburaman pandangannya dapat membaik.
Meski ikhlas menguatkan diri untuk menghadapi operasi dengan pandagan mata sebelah kiri yang mengabur, Rian masih memerlukan penanganan khusus untuk tonjolan di kerangka tulang punggung akibat tumor yang ia derita.
Pihak Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta, tempat Rian dirujuk, mengharuskan Rian untuk mengenakan korset khusus sebelum dan selama proses operasi Rian nantinya.
Namun biaya yang diperlukan tidak sedikit. korset khusus ini membutuhkan biaya sebesar 3,5 juta. Korset ini sangat diperlukan untuk menahan tulang punggung dan pinggul Rian agar tidak remuk selama melakukan operasi.
Lagi-lagi Rian harus menunggu, entah bagaimana ia bisa mendapat biaya sebesar itu. Selama ini Rian mengandalkan tanggungan biaya dari BPJS. Namun untuk korset ini, BPJS tidak bisa memenuhi tanggungan pembiayaan untuk Rian.

Kepulangan
Sekitar setahun menginap di shelter Dompet Dhuafa Jakarta, Ryan ingin pulang dan meneruskan pendidikannya yang terhenti tepat saat ia duduk di kelas VI (saat dimana ia akan menghadapi ujian akhir sekolah) bangku Sekolah Dasar (SD).
"Rian ingin pulang, mau ikut ujian sekolah," ungkapnya polos. Rian berangkat dengan bus dari Jakarta pada pertengahan lalu, dan tiba di Solok pada Rabu (30/3) dengan selamat.
Oleh donatur, Ryan juga dihadiahkan kaki palsu, untuk menopang kaki kirinya yang diamputasi, agar dia bisa bergerak bebas. Namun sayang, pada kenyataannya kaki palsu ini kurang fungsional, mengingat tulangnya yang rapuh, tulang panggulnya tak sanggup menahan beban tubuhnya.

Lulus di Salah Satu Sekolah Favorit
Ryan akhirnya mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) di sekolahnya. Ungkap ibunya, guru-guru mengaku bangga dengan nilai ujian sekolahnya. Padahal satu tahun telah berlalu, namun ia masih bisa menyelesaikan ujian sekolah dengan baik.
Meski ijazahnya belum keluar, Ryan dinyatakan lulus saat mendaftarkan diri di salah satu sekolah Favorit di daerah Singkarak, SMP N 1 Singkarak. "Guru-gurunya sangat bangga mendengar kabar ini, berharap Ryan bisa melanjutkan sekolahnya," seloroh Sang Ibu.

Kembali Memburuk
Tepat saat hendak mendaftar ulang di SMP N 1 Singkarak, tanpa sengaja Ryan terjatuh. Bagian kaki yang sebelumnya diamputasi menghempas aspal. Semenjak itu Ryan merasa sakit hingga ke pinggulnya.
Ryan dibawa ke RS M. Djamil Padang pada akhir Agustus 2016. Ia menginap di Rumah Binaan Dompet Dhuafa Singgalang semenjak Minggu (31/7) hingga sekarang.
Tepat kemarin, Selasa (2/8), Ryan kembali terbaring di RS. Ternyata tumor yang menyerang sistem tubuh Ryan adalan tumor ganas. Tubuh Ryan peka terhadap tumbukan. Bagian kaki yang terhempas, ternyata mengalami patahan tulan di ujung (bekas amputasi sebelumnya). Bagian tersebut segera di amputasi. Sementara bagian paha hingga pinggul sudah membengkak besar. Selanjutnya pihak dokter meminta Ryan agar dirawat inap untuk amputasi lanjutan yang mengangkat bagian paha kiri hingga pinggulnya.

 Berawal dari Pelajaran Kesabaran Sang Ibu
Seusai amputasi, Ryan dan Ibunya menunggu jemputan Tim Dompet Dhuafa Singgalang di beranda Rumah Sakit. Saya, saat itu datang mengendarai motor, mendahului tim yang hendak jemputan yang akan mengantar Ryan dan Sang Ibu untuk beistirahat di Rumbi.

Awalnya saya hendak sedikit bertanya-tanya tentang kebutuhan Ryan dan Sang Ibu, terkait ada donatur yang ingin berdonasi untuk pembuatan korset khusus penopang pinggul Ryan. Saat saya bertanya bagaimana kelanjutan pengobatan dan pembuatan korset di Jakarta, Ryan dan Sang Ibu menolak,
"Saya berharap kelanjutan pengobatan Ryan di Padang saja, mengingat tubuh Ryan sangat rentan perjalanan jauh cukup menyulitkannya. Alhamdulillah penanganan di Padang baik, dan untuk korset sepertinya tidak usah saja, karena gambaran dari dokter, korset tersebut hanya akan menyangga tulang Ryan, tentu akan sakit dan menyebabkan Ryan sulit beraktivitas," dengan rendah hati, Ibu Nurbaiti menangguhkan pembuatan korset khusus tersebut.

Saat ditanya bagaimana awal penyakit ini mulai menggerogoti tubuh Ryan, Ibu Nurbaiti kembali mengenang kejadian saat Ryan dalam suasana mengaji di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) di dekat rumahnya. Ryan, yang saat itu telah berstatus anak yatim, seringkali menjadi bahan olokan oleh teman-temannya.
Ejekan tersebut tak pernah digubris oleh Ryan. Ibu Nurbaiti selalu menanamkan kesabaran di hati Ryan. "Sabar nak, jika ada teman yang menyakiti, tak perlu dibalas, cukup dihindari agar engkau tak sakit hati," kenang sang Ibu.

Namun kesabaran Ryan membuat temannya jengkel. Tepat saat suasana hujan di depan kelas mengaji, Ryan dihadang tiga temannya. Ryan tak bisa mengelak, entah terpeleset didorong atau karena lantai yang licin, Ryan terjatuh saat berbalik menghindar. Ryan tak bisa bangun saat itu. Oleh guru mengaji, Ryan dibawa ke salah satu tukang pijat.

Dua bulan berlalau, Ryan tak merasa ada yang aneh pada kakinya. Ada benjolan kecil didapati dibawah lutut. Awalnya diduga benjolan biasa, beberapa waktu kemudian, barulah didapati saat diperiksa ke dokter, tumbukan tersebut menyebabkan tumor di kakinya.

Sesal Ibu Ryan atas Pelajaran Sabarnya
Beberapa waktu berlalu, Ryan bermain ditemani sepupunya. "Waktu itu ia menonton orang main bola di lapangan," lanjut Ibu Nurbaiti. Ia kembali dijahili temannya. Tanpa sebab, punggung Ryan dipukul, dan memancing amarah sang sepupu.
Sedangkan Ryan hanya melerai keduanya. Bisa saja saat itu Ryan dan keluarga menuntut pertanggungjawaban kejahilan temannya, yang menyebabkan tulang dipunggungnya terstimulus tumor sampai sekarang. Namun ia dan sang ibu memilih ikhlas.
"Saya merasa sedikit menyesal saat itu, atas pelajaran sabar yang saya tanamkan padanya, akhirnya Ryan malah menerima semua perlakuan seperti itu," tutur Ibu Nurbaiti terbata-bata.

Kekuatan Sabar dari Ryan untuk Sang Ibu
Ibu Ryan kerap sedih mengingat nasib sang putra pertama. Meski tabah dengan ujian yang diberi Allah ini, tak jarang ia merasa menyesal telah mengajarkan kesabaran bagi Ryan.
"Ma, Ryan nggak apa-apa kok, Ama jangan sedih terus. Kalau Ama sampai sakit gara-gara nangis terus, nanti yang rawat Ryan siapa?" dengan polos Ryan selalu menenangkan Ibu Nurbaiti setiap kali bersedih.
"Hanya sekali saja Ryan mengungkapkan kesedihannya kepada saya, ketika sehabis amputasi pertama, saat bangun ketika itu di ruangan RS ada kaca, ia melihat langsung tungkai kaki sebelah kirinya sudah tak ada, ia berkata kepada saya 'ma, apa mungkin Ryan bisa kuat dengan kondisi seperti ini?' sontak saat itu saya menangis, tak pernah saya dengar dia mengeluh ataupun bersedih sebelumnya, namun benar-benar hanya kali itu, setelahnya, Ryan-lah yang selalu menguatkan  saya," Ibu Nurbaiti mengusap matanya yang mulai basah.

Sabar adalah Kekuatan Tanpa Batas
Tak ada waktu untuk mengeluh, tak ada waktu untuk bersedih. Ryan akan menghadapi amputasi lanjutan. Ibu Nurbaiti dan Ryan menyatakan bahwa ini adalah kehendak Allah. meski dokter berkata tumor ini telah menjangkit ke seluruh tubuh Ryan, tapi masih ada waktu untuk ikhtiar dan berusaha menjemput kesembuhan.
"Selalu ada sanak saudara, keluarga besar Dompet Dhuafa, tetangga, mitra dan donatur yang memberi kemudahan bagi keluarga kami," senyum dibibir Ibu Nurbaiti kembali merekah.

"Yan, masih lanjut sekolah, kan?" saya menggodanya yang saat itu duduk manis di kursi roda menunggu jemputan tim.

"Iya dong kak, kalau udah boleh sekolah, Ryan mau sekolah lagi," tuturnya cengengesan. Melihat senyumnya, saya tak kuasa menahan haru. Saya benar-benar jatuh cinta dengan perjalanan hidupnya. (nisa)

Selasa, 26 April 2016

Dua Titik Kecil

Tulisan ini terinspirasi dari kisah salah satu user tentang pengalamannya saat interview kerja secara berkelompok di suatu perusahaan.

Para calon karyawan yang di interview dihadapkan pada sebuah papan tulis, dimana pada papan tersebut terdapat selembar kertas dengan gambaran titik hitam di dalamnya.

Lalu, sang interviewer meminta masing-masing calon karyawan menjelaskan apa yang mereka lihat pada papan tersebut, dengan ketentuan; tidak boleh ada peserta yang menjawab dengan pernyataan serupa.

Jawaban yang muncul berbagai versi, ada yang menjawab titik hitam, noda hitam, dan bulatan hitam. Dan pada saat giliran calon teakhir untuk memberi jawaban, ia berusaha keras untuk mencari sinonim lain yang mendekati jawaban-jawaban sebelumnya.

Namun ia tak menemukan padanan kata yang pas. Bingung didesak sang Interviewer, akhirnya ia menjawab dengan versi berbeda, "Selembar Kertas". Jawaban yang akhirnya membawa ia berhasil lolos menjadi salah satu karyawan di Perusahaan tersebut.

"Inilah sosok karyawan yang kami cari, karyawan yang melihat sesuatu dengan sudut pandang yang lebih luas," begitu penjelasan sang Interviewer.

Begitupun pada realisasi kehidupan, akan selalu ada orang yang hanya mampu melihat kita dari dua titik kecil tersebut.
Contohnya di dunia kerja, ada masa dimana seorang pekerja dipandang sebelah mata, diremehkan atas kekurangan, di caci atas kekurangan/kekeliruan kecil yang ia lakukan dalam karyanya, tanpa memandang kertas putih, atau potensi besar yang sebenarnya ia miliki, serta usaha yang telah ia lakukan selama berkarir.

Akan menjadi lebih indah, apabila terdapat sikap toleransi dan saling menghargai setiap usaha dan jerih payah yang telah diusahakan setiap orang, dengan membuka mata lebih lebar, peka terhadap keterbatasan dan kendala yang mereka hadapi. Juga dibutuhkan sikap bijaksana dalam mengemukakan pendapat dan masukan, sehingga terjalin ukhuwah yang lebih sehat. (*)

Jumat, 15 Januari 2016

Cahaya di Balik Kabut

Tanpa sengaja, lewat media sosial Instagram, saya diperkenalkan dengan perjalan hijrah salah satu User, sebut saja 165. Saat itu saya terenyuh membaca kisahnya, dengan semangat menggebu, ia membanggakan kisah kelamnya di masa lalu. Betapa ia mencap ‘sampahnya’ dia dan lingkungannya.
Kenapa ia bangga? Seharusnya saya yang merasa lebih bangga, terdidik dalam lingkungan Islam sedari lahir.

Ya. Sayapun mengaku iri kepadanya. Andaikan, saya bukan terlahir muslim, apa saya akan mau mengejar iman? Wallahualam.

Tepat ditengah kehancuran umat Islam di masa sekarang, mental yang bobrok, perpolitikan yang kacau balau, generasi yang rusak, ia mengaku terlahir rusak. Namun dititik terendahnya itulah ia menemukan harapan.
Secercah cahaya baik yang dipantulkan dari ‘Pemuda yang tak perlu disebutkan namanya’, mendaur ulang 'sampah' ini menjadi bermakna.

“Karena sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang dapat bermanfaat untuk orang lain.”

Pemuda ini bukan berasal dari latar belakang agama. Ia mengumpulkan para remaja yang terperosok ini menjadi sekelompok remaja yang terdidik meski bukan dalam lingkup pesantren.

Merangkul mereka untuk mempelajari tentang ilmu agama sebagai pondasi hidup baginya, agar tidak terjerumus nantinya, agar bisa berguna bagi dirinya, keluarga, oranglain, dan agama.

Dengan keminiman dan keterbatasan ilmu agamanya dia berusaha mengamalkannya agar berguna untuk orang lain. Bukan tanpa halangan baginya dalam menjalani niatnya,selalu ada saja halangan untuk niat baik. Dengan bermacam halangan dia terus berusaha, menurut dia halangan adalah tantangan yang harus dilewati untuk membuat kita menjadi lebih dewasa lagi. Dari sekian banyaknya cobaan yang dilaluinya dari dalam diri dan orang lain, pemuda itu hampir saja berputus asa karena banyak orang yang menilai bahwa pemuda itu punya niat yang hanya untuk kepentingan pribadinya.

Namun pemuda itu berubah pikiran dan semangat untuk terus maju dengan niat baiknya walaupun banyak orang lain yang mengahadangnya, entah karena orang lain itu sirik atau entah karena orang lain itu merasa terganggu dengan banyaknya para remaja yang dirangkul oleh pemuda itu. Saat keheningan  malam dia bersujud dan menadahkan tangan seraya berdo’a pada Yang Maha Kuasa, seiring dengan tetesan air mata agar diberi kekuatan dan kemudahan dalam menjalani niatnya.

Setelah pemuda itu berhasil merangkul para remaja, pemuda itu pun membentuk suatu perkumpulan dengan tujuan untuk membentengi keyakinan para remaja agar tidak terbawa arus perubahan zaman saat ini yang telah banyak keluar dari norma-norma agama. Bukan hanya keyakinan yang harus diperkokoh, lalu pemuda itu membimbing para remaja agar bisa menyikapi kehidupan ini dengan lebih sabar dan berprasangka baik atas takdir Allah, agar menjadi manusia yang sabar, sadar, dan ikhlas atas semua ujian yang dihadapinya. Lalu pemuda itu mengajari para remaja agar tidak tertipu oleh keindahan dunia dan agar tidak salah dalam menjalani menyikapi tujuan hidup.

Dengan adanya sebuah perkumpulan dengan para remaja seorang pemuda itu terus membimbing para remaja agar terus berbuat baik antar sesama manusia. Pemuda itu juga mengajari agar selalu menjaga sholat dan gimana agar sholat itu menjaga ucap, sikap, dan perbutan di keseharian, karena sholat bukan sekedar ritual dari sebuah gerakan tapi suatu ibadah sebagai pembuktian rasa syukur kepada Allah yang harus diterapkan di keseharian. Agar tidak sholat yang ogah-ogahan karena keterpaksaan dan jarang-jarang dan menjadikan sholat suatu kebutuhan dan pembelajaran awal dalam pembentukkan pondasi seseorang, hidup akan sia-sia tanpa melaksanakan sholat dan sholat akan sia-sia ketika kita masih mengikuti hasutan syetan. Dan juga diajarinnya cara membaca Al-Qur’an yang sekarang banyak orang yang sudah melupakan dan malas untuk membaca Al-Qur’an. Walaupun pemuda itu tidak begitu pandai dalam membaca Al-Qur’an tetapi pemuda itu tetap membimbing para remaja itu dengan ilmu yang dia miliki. Pemuda itu berharap agar para remaja itu dapat membaca Al-Qur’an . Pemuda itu terus berusaha agar para remaja mau membiasakan untuk membaca Al-Qur’an setiap hari walaupun hanya satu ayat. Dia pun mengatakan kepada para remaja “jangan membaca Al-qur’an diwaktu sempat doang,tetapi sempat-sempatin untuk membaca Al-Qur’an”.

Dan juga adab terhadap orang tua, guru, dan orang lain agar kita selalu menghormati, patuh, taat, dan lembut dalam bertutur kata kepada orang tua dan guru dan menghargai terhadap sesama.

Hari demi hari pun dilewati oleh pemuda itu dengan penuh semangat dan keyakinan dalam menghadapi masalah yang selalu silih berganti menimpa dirinya. Setelah sekian lama berkumpul dengan para remaja, akhirnya para remaja membuktikan dengan mengamalkan ilmu yang telah diajari oleh pemuda itu. Dengan rasa bangga pemuda itu hanya bisa terharu karena ilmu yang telah diajarkannya dapat diamalkan dengan baik, walaupun kadang ia masih suka bersedih karena dari beberapa remaja masih belum dapat mengamalkan ilmu yang telah diajarakannya. Kadang ia masih merasa kecewa terhadap para remaja, karena para remaja terkadang masih berbuat salah, namun pemuda dengan penuh semangat untuk mengkokohkan keimanan para remaja agar tidak berbuat salah kembali

Setiap malam minggu tiba para remaja berkumpul dan berkonvoi menggunakan kendaraan bermotor, yang bermaksud bukan ingin bersenang-senang dan bergembira ria yang sering dilakuakan para remaja pada umumnya. Namun ia berkumpul untuk mengikuti Majelis Dzikir yang dipimpim oleh gurunya pemuda tersebut yang mereka menyebutnya dengan panggilan Pak Ustadz, dengan setibanya disana para remaja pun mendapatkan bimbingan langsung dari Pak Ustadz, untuk memperbaiki ketauhidan kita kepada Allah dan akhlak kita terhadap sesama agar menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya agar dapat bermanfaat untuk orang lain.

Para remaja pun akhirnya sedikit demi sedikit telah berubah pola fikir dan keyakinanya untuk menjalani kehidupan ini, walaupun keimanan para remaja masih suka naik turun namun seorang pemuda itu mengawasinya dari kejauhan agar para remaja tidak terjebak oleh dirinya sendiri.

Siang malam pun silih berganti ditiap waktunya, tatkala pagi hari tiba pemuda itu pun tertidur karena malam harinya ia lakukan untuk menuntut ilmu agama dan beribadah hingga waktu shubuh tiba setelah ia menunaikan sholat shubuh ia pun baru memulai istirahatnya. Disini pun kesabaran pemuda itu diuji karena banyak orang yang megira bahwa pemuda ini kerjaan hanya tidur, tidur, dan tidur bahkan dari keluarganya sendiri pun mengira seperti itu. Memang sudah hampir setahun pemuda itu mengundurkan diri dari dunia, bukannya pemuda itu belum ingin bekerja atau malas untuk bekerja tetapi pemuda itu ingin fokus untuk agama.


Bahkan titel duniawi diabaikan, karena titel bukan hal yang untuk dibanggakan, tapi untuk ditanggung jawabkan. Tak sedikit orang yang tidak memahami niat baik pemuda itu, karena pemuda itu sering sekali difitnah oleh orang-orang yang tidak memahaminya.


Pemuda itu hanya bisa sabar atas ujian yang menimpa dirinya, dan tetap beribadah seperti biasanya. Ia pun tak memperdulikan orang-orang yang membencinya ia malah termotivasi dengan adanya ujian yang seperti itu, bahkan pemuda tetap kelihatan tenang dalam menghadapi ujian yang seperti itu, semua cacian dan hinaan hanya dibalas dengan diam dan senyuman. Pemuda itu pun hanya bisa mengadu disetiap do’annya, ia tetap bersabar dan yakin bahwa suatu saat dia akan merasakan sebuah kenikmatan walaupun pada saat ini ia sedang merasakan kesusahan yang dialaminya.


Dengan keteguhan hatinya, dia tetap menjalani dengan apa yang diyakininya walaupun ada saja pembicaraan di luar sana yang tidak mengenakkan. Pemuda itu beranggapan ujian yang susah untuk dilewati adalah ujian yang berasal dari keluarganya sendiri dan dia juga akan terus berperang dengan musuh-musuh Allah, terutama musuh yang ada di dirinya sendiri hingga ajal menjemputnya. Setiap hari pun pemuda itu tetap berusaha untuk memperbaiki dirinya sendiri, pemuda itu sering kali terjatuh dalam menghadapi masalahnya namun pemuda itu dapat bangkit kembali dari kegagalan tersebut.

Dia pun tetap berusaha untuk sabar walaupun dia selalu merasakan di dalam hatinya selalu terjadi pertempuran sehingga dia merasakan betapa sakitnya dikala sedang berusaha untuk bersabar, namun dia akan terus berusah sabar dalam situasi apapun. Dia juga beranggapan dunia itu emang masalah jadi sudah biasa kalau kita hidup di dunia selalu penuh dengan masalah, karena masalah itu untuk dihadapi dan bukan untuk dihindari. Dengan adanya masalah dia pun merasa menjadi lebih dewasa lagi karena dia mampu menghadapinnya dengan kesabaran dan hanya ada dua orang yang tidak akan kena masalah yaitu orang gila dan orang mati, jadi kalau kita mau terhindar dari masalah kita tinggal pilih salah satu dari dua pilhan tersebut. Dia pun beranggapan seperti itu .


Pemuda itu juga akan terus berusaha seperti “air” karena banyak pelajaran yang diambil dari air. Air pun dapat menghancurkan batu dengan sabar walaupun hanya dengan setetes demi setetes, begitu juga kita harus lebih bersabar dalam mengahadapi masalah. Air juga terus mengalir walaupun banyak batu yang selalu menghadangnya, begitu juga kita harus terus menjalankan sebuah kehidupan walaupun ada saja hadangan yang harus kita lewati. Dan masih banyak lagi pelajaran yang kita ambil dari air tersebut, semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari air tersebut .


Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, seiring pula dengan menipisnya keimanan manusia sehingga mudah tergelincir oleh ambisi duniawi, karena beranggapan harta dan tahta penyebab kebehagaian semata, disitulah letak kesalahan. Dengan ambisi mencari duniawi sehingga melalaikan norma-norma agama, telah banyak kita lihat betapa banyaknya manusia lebih mengedepankan atau mementingkan cita-cita duniawi dengan melupakan syari’at agama bahkan sampai merusak aqidah sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-cita duniawi.

Siapakah yang lebih sampah?

Saya telahir muslim. Tak serta merta membuahkan keimanan instan di diri saya. Begitupun 165. Tapi ia, yang mengaku ‘sampah’ menemukan jalan yang lebih baik dari saya.

Seumpama, saya yang mencari aman dengan tidak melakukan apa-apa, sementara 165, jatuh bangun menjalani keburukan yang menghantar ia kepada jalan yang benar? Tentu ia lebih mulia. Dibanding kepengecutan saya yang tak berani mengubah dunia. Sungguh, diri saya lebih sampah dibanding dia.

Saya sangat berharap, dari kisah yang ia ungkapkan kepada saya akan mampu mengubah dunia terutama khususnya bagi saya sendiri. Dan semoga istiqomah senantiasa menjadi bagian yang tak lepas bagi 165 dan ‘Sang Pemuda’ beserta kelompok remaja ini. 

Biarkan kabut tetap menutupi kesungguhan kalian, biarkan kelak dunia sendir yang menyibak kabut ini, dan menyadari betapa sesungguhnya dibalik kabut terdapat cahaya lugu yang menyinari dunia. (165/@nisachaau)